Niatjuga bukan termasuk syarat dalam shalat sama seperti menutup aurat. Wanita dzimmi istri seorang Muslim yang haidnya berhenti juga tidak diwajibkan mandi; [4] dan niat teresbut harus dilakukan ketika takbiratul ihram. Namun apabila sujud tilawah tersebut dilakukan dalam shalat, maka niatnya cukup dalam hati tidak perlu diucapkan dengan Apakahkamu lagi mencari jawaban dari pertanyaan Takbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuk? Berikut pilihan jawabannya: Rukun Syarat Sunnah Wajib Kunci Jawabannya adalah: A. Rukun. Dilansir dari Ensiklopedia, Takbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuktakbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuk Rukun. Penjelasan Kenapa jawabanya A. Rukun? Hal tersebut sudah tertulis secara jelas pada TATACARA SUJUD TILAWAH. Oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc Tata cara sujud tilawah dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Para ulama bersepakat bahwa sujud tilâwah cukup dengan sekali sujud. 2. Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat. 3. Berdasarkan pendapat yang paling kuat, sujud tilâwah tidak disyari'atkan takbîratul ihrâm sebelumnya dan juga tidak disyari'atkan salam setelahnya. TRIBUNSUMSELCOM - Sujud tilawah merupakan sujud yang dilakukan baik di dalam sholat ataupun di luar sholat sewaktu membaca atau mendengar bacaan dari ayat-ayat sajdah. Ayat Sajdah adalah ayat-ayat yang disunahkan bersujud seusai membacanya, dalam pembacaan Al-Qur'an (QS. Maryam: 58). Ada 14 buah ayat Al-Quran yang termasuk dalam ayat As Sajdah, yaitu: (Al-A'rof : 206), (Al-Ra'du : 15). termasukmata kuliah intrakurikuler. Praktik ibadah harus diambil mahasiswa seperti mata kuliah lainnya. Sujud Tilawah dan Syukur 4. Khutbah 1. Khutbah Jum'at 2. Khutbah Id al-Fitri dan 'Id al-Adha 3. Takbiratul Ihram 3. Do'a Iftitah 4. Membaca surat al-fatihah 5. Membaca surat Pendek 6. Ruku Q 1)Suci dari hadas dan najis. 2)Menghadap kiblat. 3)Niat. 4) Menutup aurat. Manakah yang termasuk syarat sujud tilawah adalah. . loading...Perkara-perkara yang membatalkan sholat wajib dipelajari setiap muslim agar ibadah sholat tidak menjadi sia-sia. Foto ilustrasi/ist Perkara yang membatalkan sholat wajib diketahui setiap muslim. Hal ini penting dipelajari agar sholat kita benar-benar diterima di sisi Allah. Dalam Hadis disebutkan, sholat merupakan amal ibadah yang pertama yang kali dihisab oleh Allah pada hari Kiamat. Jika sholatnya baik maka baiklah seluruh amalannya. Apabila sholatnya buruk maka buruk pula amalan lainnya. Berikut 12 perkara yang membatalkan sholat dijelaskan dalam Kitab Sulam Al-Munajat karya Syaikh Nawawi Al-Bantani. 1. Hilangnya Salah Satu dari 12 Syarat Sholat Hilangnya salah satu dari 12 syarat shalat, baik sengaja meskipun dipaksa, lupa atau tidak tahu. Sebab masalah ini termasuk Khithab Wad'i, yaitu firman Allah yang berkaitan dengan menjadikan sesuatu sebagai sebab atau syarat atau penghalang atau sah atau tidak Hilangnya Salah Satu dari 19 Rukun Sholat Hilangnya salah satu dari 19 rukun shalat dengan sengaja. Sebab apabila salah satu rukunnya tidak ada, maka tidak disebut shalat. Bila lupa, maka harus segera dilakukan bila ingat. Bila tidak dilakukan, maka harus memulai shalat dari muka. Sesuatu yang dilakukan setelah rukun yang dilupakan tidak diperhitungkan karena terjadi di selain tempatnya, kecuali setelah rukun yang dilupakan itu. Bila rukun tersebut dia lakukan, maka dia meneruskan sholatnya. Bila dia yakin bahwa dia belum melakukan satu sujud dari rakaat terakhir, pada akhir shalatnya atau setelah salamnya dan sebelum terkena najis yang tidak ma'fu dan belum lama, maka dia harus melakukan sujud itu dan mengulangi tasyahhudnya. Bila sujud yang dilupakan dari selain rakaat terakhir, maka dia harus melakukan satu Menambahkan Rukun Fi'liyahPerkara yang membatalkan sholat selanjutnya yaitu menambahkan rukun fi'liyah. Misalnya menambahkan Ruku' atau sujud, meskipun tanpa thumakninah atau menambahkan rakaat. Atau mendatangkan niat atau takbiratul ihram di tengah-tengah shalat atau melakukan salam pada selain tempatnya, padahal dia tahu kalau hal itu dilarang. Hal tersebut membatalkan shalat bagi orang yang sengaja karena dia dianggap bermain-main. Sedangkan orang yang lupa dan orang yang tidak tahu larangan karena baru saja masuk Islam atau dia hidup di hutan yang jauh dari ulama, shalatnya tidak batal. Demikian juga apabila makmum menambah rukun karena mengikuti imamnya. Apabila menambahkan rukun dilakukan karena lupa atau seseorang menambahkan selain rukun tersebut yakni rukun fi'li selain takbiratul ihram baik dengan sengaja atau lupa, maka shalatnya tidak batal menurut pendapat yang ashah. Contohnya mengulangi Surat Al-Fatihah dan mengulangi Tasyahhud tanpa alasan. Namun dia sunnah melakukan sujud sahwi jika melakukan sesuatu yang bila disengaja membatalkan Melakukan Gerakan Sekali Dengan Keras Atau 3 Kali BerturutMelakukan gerakan sekali namun keras misalnya satu lompatan keras dan satu pukulan keras. Atau gerakannya tidak keras, namun bertujuan main-main. Misalnya lompatan yang tidak keras dan tepuk tangan, meskipun tidak dengan memukulkan dua telapak tangan. Atau melakukan gerakan tiga kali yang berturut-turut meskipun dengan beberapa anggota badan apabila mandiri, baik sengaja, lupa atau karena tidak tahu namun tidak dimaafkan. Hal tersebut membatalkan, sebab memutuskan urutan shalat dan memberi kesan berpaling dari Makan Atau Minum Meskipun SedikitPerkara kelima yang membatalkan sholat adalah makan sedikit atau minum sedikit dengan sengaja meski dipaksa. Baik dengan mengunyah atau tanpa mengunyah, meskipun biasanya benda itu tidak dimakan, misalnya debu. Contohnya minum sedikit adalah cairan gula dan ludah yang bercampur dengan lainnya. Apabila seseorang makan minum karena lupa bahwa dia sedang shalat atau tidak tahu haramnya makan minum dan dia baru saja masuk Islam atau hidup jauh dari ulama, maka sholatnya tidak batal karena makanan minuman yang sedikit menurut adat. Dan batal shalatnya bila makanan minuman itu banyak, sebab makanan minuman yang banyak memutuskan urutan shalat, meskipun tidak membatalkan puasa bila lupa. Perbedaan antara shalat dan puasa adalah gaya shalat itu dapat mengingatkan orang yang lupa, sedangkan puasa tidak demikian. Di samping itu, shalat mempunyai beberapa perbuatan yang tertata, sedangkan perbuatan yang banyak memutuskannya. Lain halnya puasa, di mana perbuatan banyak tidak berpengaruh Melakukan Sesuatu yang Membatalkan Orang Puasa Selain Makan MinumPerkara berikutnya adalah melakukan sesuatu yang membatalkan orang puasa selain makan minum. Yakni ada benda masuk ke dalam rongganya, misalnya dia memasukkan kayu ke dalam lobang Memutuskan NiatPerkara berikutnya memutuskan niat. Misalnya berniat keluar dari shalat, baik seketika atau setelah satu rakaat misalnya. Lain halnya berniat melakukan hal yang membatalkan shalat, maka shalat tidak batal, kecuali bila dilakukan. Orang puasa bila berniat keluar dari puasanya, puasanya tidak batal menurut pendapat yang rajih. Demikian juga orang yang berwudhu, bila dia berniat keluar dari wudhunya, maka wudhunya tidak batal. Namun sisanya membutuhkan niat. Perbedaannya adalah shalat itu lebih sempit, maka lebih terpengaruh oleh perbedaan Menggantungkan Batalnya Sholat dengan Sesuatu yang Terjadi Menggantungkan batalnya shalat dengan sesuatu yang terjadi di dalamnya atau mungkin terjadi dan tidak terjadi di dalam shalat. Misalnya berniat bila Zaid datang, maka aku membatalkan shalat atau niat sejenisnya. Maka shalat batal Bimbang Apakah Akan Membatalkan Sholat atau Tidak Perkara berikutnya, bimbang apakah akan membatalkan shalat atau tidak. Misalnya saat shalat tiba-tiba ada keperluan, lalu bimbang apakah akan menghentikan shalat atau meneruskannya. Maka shalat batal seketika. Yang dimaksudkan bimbang adalah ragu-ragu yang berlawanan dengan Bimbang Mengenai Hal yang Diwajibkan dalam NiatPerkara kesepuluh yaitu bimbang mengenai hal yang diwajibkan dalam niat. Misalnya bimbang apakah yang diniatkan sholat Zuhur atau Ashar. Atau bimbang mengenai sebagian hal yang diwajibkan dalam Takbiratul Ihram. Misalnya bimbang apakah dia Takbiratul Ihram saat menghadap kiblat ataukah setelah berdiri?Bimbang mengenai syarat shalat juga membatalkan shalat, misalnya thaharah. Bimbang di atas membatalkan shalat bila waktunya lama menurut adat, yaitu waktu untuk membaca atau waktunya tidak lama, namun dia melakukan rukun fi’li atau gauli. Dengan demikian dapat diketahui, bila waktunya bimbang tidak lama dan tidak melakukan rukun sama sekali, yakni dia ingat segera, maka bimbang tidak apa-apa. 11. Memutuskan Rukun Fi'li Demi SunnahMemutuskan rukun fi'li demi sunnah. Misalnya, orang yang berdiri dari sujud kedua karena lupa tahiyat awal, kemudian dia kembali duduk untuk membaca tahiyat awal setelah dia bangkit dan bisa disebut berdiri. Hal ini membatalkan sholat jika dia tahu bahwa kembali itu haram dan sengaja. Maka shalatnya batal karena dia menambah duduk tanpa alasan. Lain halnya memutuskan rukun gauli demi sunat, misalnya memutuskan Al-Fatihah demi membaca ta'awwudz atau Iftitah, maka tidak haram dan hanya makruh. Apabila kembali karena lupa bahwa dia sedang shalat atau lupa haramnya kembali duduk, maka tidak batal shalatnya. Namun dia harus kembali berdiri segera bila ingat dan disunnahkan Sujud Sahwi karena hal itu membatalkan shalat bila disengaja. Demikian juga shalatnya tidak batal bila dia tidak tahu haramnya hal tersebut menurut pendapat yang rajih meskipun dia berbaur dengan ulama. Sebab masalah ini termasuk hal yang samar bagi orang awam. Bila seseorang lupa Qunut, lalu ingat saat sujud, maka batal shalatnya bila dia kembali berdiri untuk qunut. Apabila kembali qunut sebelum sempurna sujudnya, yaitu belum sempurna meletakkan ke tujuh anggota badan sujud, maka shalatnya tidak batal, sebab dia belum melakukan fardlu. 12. Tetap Melakukan Rukun Bila Yakin Belum MelakukannyaPerkara berikutnya yaitu tetap melakukan rukun bila yakin belum melakukan rukun sebelumnya atau bimbang apakah rukun itu telah dilakukan atau belum. Dengan syarat waktunya lama menurut adat, yaitu minimal thumakninah. Dia harus kembali untuk melakukan rukun yang dia yakini belum dilakukannya, terkecuali bila dia makmum yang tidak berniat mufaragah keluar dari jamaah, maka dia harus menambahkan satu rakaat setelah imamnya salam. Dia tidak boleh kembali untuk melakukan rukun tersebut, sebab dia harus mengikuti imamnya. Namun apabila yang belum dilakukan itu satu sujud atau thumakninahnya dari rakaat terakhir, sedangkan dia tasyahud bersama imamnya, maka dia harus kembali sujud sebagaimana dikutip Ahmad Al-Maihid dari hukum di atas harus diketahui oleh setiap muslim dan harus dipelajarinya, meskipun dengan bepergian ke negeri yang jauh. Allah berfirman وَمَا كَانَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ لِيَنۡفِرُوۡا كَآفَّةً‌ ؕ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِنۡ كُلِّ فِرۡقَةٍ مِّنۡهُمۡ طَآٮِٕفَةٌ لِّيَـتَفَقَّهُوۡا فِى الدِّيۡنِ وَ لِيُنۡذِرُوۡا قَوۡمَهُمۡ اِذَا رَجَعُوۡۤا اِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُوۡنَArtinya "Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi ke medan perang. Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya." QS. At-Taubah Ayat 122Demikian hal-hal yang membatalkan sholat dalam Kitab Sulam Al-Munajat. Semoga kita diberi kemudahan mempelajari syariat dan fiqih sholat. Wallahu A'lam Baca Juga rhs Takbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuk? Rukun Syarat Sunnah Wajib Semua jawaban benar Jawaban yang benar adalah A. Rukun. Dilansir dari Ensiklopedia, takbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuk Rukun. Pembahasan dan Penjelasan Menurut saya jawaban A. Rukun adalah jawaban yang paling benar, bisa dibuktikan dari buku bacaan dan informasi yang ada di google. Menurut saya jawaban B. Syarat adalah jawaban yang kurang tepat, karena sudah terlihat jelas antara pertanyaan dan jawaban tidak nyambung sama sekali. Menurut saya jawaban C. Sunnah adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut lebih tepat kalau dipakai untuk pertanyaan lain. Menurut saya jawaban D. Wajib adalah jawaban salah, karena jawaban tersebut sudah melenceng dari apa yang ditanyakan. Menurut saya jawaban E. Semua jawaban benar adalah jawaban salah, karena setelah saya coba cari di google, jawaban ini lebih cocok untuk pertanyaan lain. Kesimpulan Dari penjelasan dan pembahasan serta pilihan diatas, saya bisa menyimpulkan bahwa jawaban yang paling benar adalah A. Rukun. Jika anda masih punya pertanyaan lain atau ingin menanyakan sesuatu bisa tulis di kolom kometar dibawah. BEBERAPA HUKUM SEPUTAR SUJUD TILAWAH DALAM SHALATOleh Ustadz Kholid Syamhudi, LcSujud Tilâwah merupakan salah satu sujud yang disyariatkan dalam Islam bagi yang membaca ayat-ayat sajdah dan yang mendengarkannya. Kalau kita melihat keadaan orang yang membaca dan mendengar ayat-ayat sajdah maka tidak lepas dari dua keadaan; membaca atau mendengarnya dalam shalat atau diluar beberapa permasalahan terkait sujud tilawah dalam shalat, diantaranyaHukum Imam Membaca Ayat-ayat Sajadah Dalam Shalat Jahriyah. Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini menjadi dua pendapatPertama Pendapat yang menyatakan disyariatkan dan dianjurkan bagi orang yang membaca ayat sajdah dalam shalat, baik shalat wajib maupun shalat nâfilah sunnah agar melakukan sujud tilâwah. Ini pendapat mayoritas Ulama, diantaranya madzhab Hanafiyah[1], Syâfi’iyyah[2], Hanabilah[3], Zhâhiriyah[4] dan riwayat Abdullah bin Wahb dari Mâlik[5].Mereka berargumentasi dengan beberapa dalil, diantaranya 1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الجُمُعَةِ فِي صَلاَةِ الفَجْرِ الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةَ، وَهَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِDahulu Nabi Shallallahu alaihi wa sallam di hari Jum’at saat shalat Shubuh membaca surat Sajdah dan al-Insân [HR. Al-Bukhâri no. 891]2. Hadits Abu Raafi’ beliau berkataصَلَّيْتُ مَعَ أَبِى هُرَيْرَةَ الْعَتَمَةَ فَقَرَأَ إِذَا السَّمَاءُ انْشَقَّتْ فَسَجَدَ فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ سَجَدْتُ بِهَا خَلْفَ أَبِى الْقَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلاَ أَزَالُ أَسْجُدُ بِهَا حَتَّى أَلْقَاهُAku shalat Isya’ shalat atamah bersama Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , lalu Beliau Shallallahu alaihi wa sallam membaca “idzas samâ’un syaqqat”, kemudian Beliau Shallallahu alaihi wa sallam sujud. Lalu Abu Rafi’ bertanya pada Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , “Apa ini?” Abu Hurairah Radhiyallahu anhu pun menjawab, “Aku bersujud di belakang Abul Qâsim Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam ketika sampai pada ayat sajadah dalam surat tersebut.” Abu Rafi’ mengatakan, “Aku tidak pernah bersujud ketika membaca surat tersebut sampai aku menemukannya saat itu.” [HR. Al-Bukhâri no. 768 dan Muslim no. 578]3. Amalan ini sudah ada dari sejumlah ahli fikih dari kalangan Shahabat seperti Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu, Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, Abu Hurairah Radhiyallahu anhu dan Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu dan tidak diketahui ada yang menyelisihi Dimakruhkan membaca ayat-ayat sajadah dalam shalat fardhu, sedangkan dalam shalat nâfilah tidak dimakruhkan. Ini merupakan pendapat imam Mâlik dalam satu riwayat yang menjadi pendapat madzhab ini berargumen dengan dua alasan 1. Apabila tidak sujud maka masuk dalam ancaman yang diisyaratkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala وَاِذَا قُرِئَ عَلَيْهِمُ الْقُرْاٰنُ لَا يَسْجُدُوْنَDan apabila al-Qur’ân dibacakan kepada mereka, mereka tidak bersujud, [Al-Insyiqâq/8421]Apabila sujud berarti menambah jumlah sujudnya[6].2. Hal ini mengakibatkan orang yang dibelakang imam bingung dan salah, karena hal ini perkara yang tidak biasa dalam shalat.[7]Pendapat yang Rajih Pendapat yang râjih adalah pendapat mayoritas Ulama karena hadits-hadits yang shahih menunjukkan Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam membaca ayat sajadah dalam shalat dan melakukan sujud tilâwah dalam shalat. Wallâhu a’ Membaca Ayat-ayat Sajdah Dalam Shalat Sirriyah Seperti Shalat Zhuhur dan Shalat Ashar. Pada shalat tersebut, makmum tidak mendengar kalau imam membaca ayat sajadah. Dalam masalah ini para Ulama fikih berbeda pendapat dalam beberapa pendapatPertama Dimakruhkan. Ini merupakan pendapat madzhab Hanafiyah dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah namun dianggap sebagai pendapat madzhab serta pendapat sebagian Ulama madzhab beralasan dengan dua alasan 1. Apabila tidak sujud berarti meninggalkan sunnah dan kalau sujud akan menimbulkan kesalahfahaman pada makmum. Karena bisa jadi mereka menyangka sang imam salah, karena mendahulukan sujud daripada ruku’[8].Alasan ini dibantah dengan menyatakan bahwa meninggalkan amalan sunnah tidak menjadikan membaca ayat sajdah dalam masalah ini dimakruhkan; karena meninggalkan amalan sunnah tidak makruh. Sebab kalau meninggalkan amalan sunnah dihukumi makruh maka kita berpendapat shalat tidak menggunakan sandal hukumnya makruh dan tidak mengangkat tangan dalam takbiratul ihrâm hukumnya makruh serta tidak mengucapkannya secara jahr pada shalat jahriyah adalah makruh[9].2. Apabila sujud berarti menambah jumlah sujud dalam shalat. Alasan ini terbantahkan. Memang benar ada penambahan sujud, namun penambahan seperti itu tidak apa-apa, sebab terbukti Nabi Shallallahu alaihi wa sallam melakukannya dalam Dimakruhkan dalam shalat fardhu, namun tidak dimakruhkan pada shalat nâfilah sunnah. Inilah pendapat madzhab Mâlikiyah. Mereka beralasan dengan alasan yang sama dengan pendapat yang pertama dalam shalat fardhu dan mengecualikan shalat nâfilah dengan dasar yaitu sujud itu bersifat sunnah dan shalat nafilah itu juga bersifat sunnah sehingga sujud tersebut tidak menjadi ibadah tambahan dalam shalat nâfilah[10]Ketiga Tidak dimakruhkan secara mutlak. inilah pendapat madzhab Syafi’iyah[11] dan satu pendapat dalam madzhab Hanabilah[12] serta pendapat Ibnu Hazm.[13]Mereka berdalil dengan hadits Umar bin al-Khathab Radhiyallahu anhu yang berbunyiأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَجَدَ فِي صَلَاةِ الظُّهْرِ ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ فَرَأَوْا أَنَّهُ قَرَأَ تَنْزِيلَ السَّجْدَةَSesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sujud dalam shalat Zhuhur kemudian bangkit lalu ruku’ lalu para Shahabat melihat Beliau membaca surat as-sajdah [HR. Abu Dawud dan didhaifkan al-Albani dalam al-Misykah no. 1031].Mereka juga berdalil dengan tidak adanya dalil shahih yang menunjukkan sujud itu yang Rajih Pendapat yang rajih menurut penulis adalah pendapat yang ketiga ini, karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkan sujud itu makruh, sementara dasar atau alasan pendapat lain dalam menetapkan hukum makruhnya itu lemah. Karena tugas makmum hanya mengikuti imam. Jadi, jika imam melakukan sujud tilâwah, maka makmum hanya ikut saja dan ikut sujud. Alasannya adalah sabda Nabi Shallallahu alaihi wa sallam إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُواSesungguhnya imam itu untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam sujud, maka bersujudlah. [HR. Al-Bukhâri dan Muslim]Begitu pula apabila seorang makmum tatkala berada jauh dari imam sehingga tidak bisa mendengar bacaannya atau makmum tersebut adalah seorang yang tuli, maka dia harus tetap sujud karena mengikuti inilah yang lebih tepat. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh Ibnu Qudâmah[14].Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah merajihkan pendapat yang membolehkannya dengan menyatakan, “Diperbolehkan imam membaca ayat sajdah dalam shalat siriyah dan sujud sebagaimana dilakukan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam[15].Cara Sujud Tilawah. Tata cara sujud tilawah dapat dijabarkan sebagai berikut 1. Para ulama bersepakat bahwa sujud tilâwah cukup dengan sekali sujud. 2. Bentuk sujudnya sama dengan sujud dalam shalat. 3. Berdasarkan pendapat yang paling kuat, sujud tilâwah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm sebelumnya dan juga tidak disyari’atkan salam Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sujud tilâwah ketika membaca ayat sajdah tidak disyari’atkan takbîratul ihrâm, juga tidak disyari’atkan untuk salam. Inilah ajaran yang sudah ma’rûf dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , juga dianut oleh para Ulama salaf, dan inilah pendapat para imam yang telah masyhur.”[16]Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin t berkata, “Sunnah Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam menunjukkan tidak adanya takbîr dan salam dalam sujud tilâwah kecuali apabila dalam keadaan shalat[17].4. Disyariatkan pula untuk bertakbir ketika hendak sujud dan bangkit dari sujud. Umumnya pada Ulama memandang pensyariatan takbir dalam sujud tilâwah apabila sujud tersebut dilakukan dalam shalat, tanpa membedakan antara turun sujud dan bangkit dari sujud. Mereka berdalil dengan hadits dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam إِنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكَبِّرُ فِي كُلِّ رَفْعٍ وَخَفْضٍSesungguhnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bertakbir dalam setiap naik dan turun. [HR. Al-Bukhâri 1/191]Imam an-Nawawi menukil salah satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah yang menyatakan bahwa tidak takbir saat naik dan turun dalam sujud tilâwah dan beliau rahimahullah menghukumi pendapat ini lemah dan menyelisihi yang benar[18].Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Telah shahih bahwa Beliau Shallallahu alaihi wa sallam bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dari sujud, sehingga sujud tilâwah masuk dalam keumuman ini. Adapun yang dilakukan sebagian imam masjid apabila sujud tilâwah dalam shalat, yaitu bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit dari sujud, maka ini dibangun diatas pemahaman keliru tanpa ilmu; karena ketika melihat sebagia Ulama memilih dalam sujud tilâwah bertakbir apabila hendak sujud dan tidak bertakbir ketika bangkit, menyangka bahwa itu berlaku dalam shalat dan di luar shalat dan tidak demikian yang benar. Yang benar, apabila melakukan sujud tilâwah dalam shalat maka ia bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit sebagaimana telah lalu.[19]5. Mengangkat tangan dalam takbir tersebut. Dalam masalah disyari’atkan angkat tangan atau tidak ketika hendak sujud, para Ulama berselisih dalam dua pendapatPendapat Pertama Tidak disyariatkan mengangkat tangan. Ini pendapat madzhab Hanafiyah[20], madzhab Mâlikiyah[21], madzhab Syâfiiyah[22] dan satu riwayat dari imam Ahmad dan dirajihkan sebagian ulama Hanabilah.[23]Pendapat ini berdalil dengan hadits Abdullah bin Umar c yang berkataأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ وَكَانَ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ فِي السُّجُودِSesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya sejajar kedua bahunya apabila memulai shalat dan apabila bertakbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepalanya dari ruku’ demikian juga mengangkat kedua tangannya, seraya berkata Sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal Hamdu. Beliau tidak melakukan hal itu dalam sujud. [HR al-Bukhari dijelaskan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam tidak mengangkat tangannya dalam sujud dan sujud tilâwah termasuk sujud yang pernah Beliau lakukan dalam ini didukung dengan qiyâs analogi kepada sujud dalam shalat yang tanpa mengangkat kedua tangannya[24].Pendapat Kedua Disunnahkan mengangkat tangan. Inilah satu riwayat dari imam Ahmad dan menjadi pendapat madzhabnya[25]. Pendapat ini berdalil dengan hadits Wa’il bin Hujur Radhiyallahu anhu أَنَّهُ صَلَّى مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَكَانَ يُكَبِّرُ إِذَا خَفَضَ، وَإِذَا رَفَعَ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ عِنْدَ التَّكْبِيرِ، وَيُسَلِّمُ عَنْ يَمِينِهِ وَعَنْ يَسَارِهِBeliau shalat bersama Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , Beliau pun bertakbir ketika sujud dan ketika bangkit dan beliau Shallallahu alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ketika bertakbi dan salam kekanan dan kekiri.” [HR. Ahmad dalam Musnad 4/316, Ad Darimi dalam sunannya 1/285, ath Thayâlisiy dalam Musnadnya no. 1805. dan dinilai Hasan oleh al-Albani dalam al-Irwâ no. 641]Kemudian Imam Ahmad mengomentarinya dengan menyatakan Ini sujud tilawah masuk dalam ini semua[26].Pendapat yang rajih Pendapat pertama tampak lebih kuat karena qiyâs yang mereka sampaikan shahih. Sedangkan hadits Wail bin Hujur Radhiyallahu anhu tidaklah menunjukkan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam sujud dengan mengangkat tangannya dalam takbir sujud. Apalagi adanya riwayat ibnu Umar Radhiyallahu anhu yang jelas meniadakan angkat tangan dalam Umumnya Ulama mensunahkan membaca dalam sujud tilâwah bacaan yang sudah ada dari Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam, diantaranya A. Bacaan tasbih dan doa yang ada dalam sujud shalat seperti Membacaسُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَىMaha Suci Allâh Yang Maha Tinggi,Seperti yang diriwayatkan oleh Hudzaifah Radhiyallahu anhu , beliau menceritakan tata cara shalat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan ketika sujud Beliau Shallallahu alaihi wa sallam membacaسُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَىMaha Suci Allah Yang Maha Tinggi [HR. Muslim no. 772].Juga karena hadits Uqbah bin Amir al-Juhani Radhiyallahu anhu yang berkataفَلَمَّا نَزَلَتْ {سَبِّحْ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} [الأعلى 1] قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - “اجْعَلُوهَا فِي سُجُودِكُمْ”Ketika turun firman Allâh surat al-A’la ayat ke-1 maka Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam bersabda kepada kami Jadikanlah ini dalam sujud-sujud kalian. [HR Ibnu Mâjah dalam sunannya no 887. Hadits ini dilemahkan al-Albani dalam Dhaif Sunan Ibnu Mâjah dan di hasankan oleh Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liqnya terhadap Sunan Ibnu Mâjah].Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan Hadits ini mencakup sujud dalam shalat dan sujud tilâwah Syarhu mumti’ .Membacaسُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِىMaha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah Ibnu Utsaimin rahimahullah memberikan alasan dengan dua dalil Pertama Firman Allâh Azza wa Jalla اِنَّمَا يُؤْمِنُ بِاٰيٰتِنَا الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِّرُوْا بِهَا خَرُّوْا سُجَّدًا وَّسَبَّحُوْا بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَهُمْ لَا يَسْتَكْبِرُوْنَ Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat-ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat-ayat itu mereka segera bersujud seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. [as-Sajdah/32 15].Kedua Hadits Aisyah Radhiyallahu anha , beliau berkata, “Nabi Shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca do’a ketika ruku’ dan sujudسُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيMaha Suci Engkau, Ya Allâh, Rabb kami, dengan segala pujian kepada-Mu, ampunilah dosa-dosaku [HR. Al-Bukhâri no. 817 dan Muslim no. 484 Syarhu Mumti’].B. Bacaan yang diriwayatkan oleh ummul Mukminin Aisyah Radhiyallahu anha bahwa Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallam biasa membaca dalam sujud tilawah di malam hari, Beliau Shallallahu alaihi wa sallam membaca dalam sujud sajdahnya beberapa kali سَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta. [HR. Abu Dawud no. 1414 dan shahihkan al-Albani rahimahullah]C. Bacaan yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Tholib Radhiyallahu anhu , beliau berkata bahwa Nabi Shallallahu alaihi wa sallam ketika sujud membaca اللَّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ وَبِكَ آمَنْتُ وَلَكَ أَسْلَمْتُ سَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ فَأَحْسَنَ صُوَرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَYa Allâh! Kepada-Mu aku bersujud, karena-Mu aku beriman, kepada-Mu aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allâh Sebaik-baik Pencipta. [HR. Muslim no. 771]D. Bacaan yang diriwayatkan Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhuma. Beliau berkata, “Ada seseorang yang mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam , lalu ia berkata, “Wahai Rasûlullâh! Aku bermimpi shalat di belakang sebuah pohon. Tatkala aku bersujud, pohon tersebut juga ikut bersujud. Tatkala itu aku mendengar pohon tersebut mengucapkanاللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا، وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَتَقَبَّلْهَا مِنِّي كَمَا تَقَبَّلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ، Ya Allah! Tetapkanlah pahala untukku disisi-Mu dengan bacaan ini dan gugurkanlah dosa-dosaku! Jadikanlah dia sebagai tabunganku dan terimalah dia sebagaimana Engkau menerimanya dari hamba-Mu DaudIbnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata Nabi Shallallahu alaihi wa sallam membaca ayat sajdah kemudian sujud. Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu pun berkata Lalu aku mendengar beliau membaca seperti yang orang tersebut sampaikan dari perkataan pohon itu. [HR. Tirmidzi no. 576 dan dihasankan al-Albani].Demikian beberapa masalah berkenaan dengan sujud tilawah dalam sholat. Semoga dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XVIII/1436H/2014M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Lihat Fathul Qadîr 2/14 [2] Lihat al-Majmû 4/58 [3] Lihat al-Mughni 2/371 [4] Lihat al-Muhalla 5/157 [5] Lihat al-Muntaqâ 1/350 [6] Lihat Hasyiyah ad-Dûsuqi, 1/310 [7] Llihat al-Muntaqa 1/350 [8] Lihat al-Muntaqa, 1/350 dan al-Mughni, 2/371 [9] Lihat asy-Syarhu al-Mumti’ 4/148 [10] Lihat Hasyiyah ad-Dasuqi 1/310 [11] Lihat al-Majmû 2/95 [12] Lihat al-Mughni 2/371 [13] Lihat al-Muhalla 5/157 [14] Lihat al-Mughni, 3/104 [15] Syarhu Mumti’ 4/103 [16] Majmû’ al-Fatâwa, 23/165 [17] Syarhu Mumti’ 4/100 [18] Lihat al-Majmu’ 4/63 [19] Syarhu Mumti’ 4/100 [20] Lihat al-Banâyah 2/734 [21] Lihat asy-Syarhul ash-Shaghîr 1/569 [22] Lihat Mughnil Muhtâj 1/217 [23] Lihat al-Mughni 2/361 [24] Lihat Mughnil Muhtâj 1/217 [25] Lihat al-Mughni 2/361 [26] Lihat al-Mughni 2/361 Home /A9. Fiqih Ibadah3 Shalat/Beberapa Hukum Seputar Sujud... Seseorang mengangkat kedua tangannya dan mengucapkan Allahu Akbar ketika memulai shalat, ini dinamakan takbiratul ihram. Takbiratul ihram termasuk rukun shalat, shalat tidak sah tanpanya. Dalil bahwa takbiratul ihram adalah rukun shalat adalah hadits yang dikenal sebagai hadits al musi’ shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga setelah ia shalat Nabi bersabda kepadanyaارجِعْ فَصَلِّ فإنك لم تُصلِّ“Ulangi lagi, karena engkau belum shalat”Menunjukkan shalat yang ia lakukan tidak sah sehingga tidak teranggap sudah menunaikan shalat. Kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengajarkan shalat yang benar kepadanya dengan bersabdaإذا قُمتَ إلى الصَّلاةِ فأسْبِغ الوُضُوءَ، ثم اسْتقبل القِبْلةَ فكبِّر…“Jika engkau hendak shalat, ambilah wudhu lalu menghadap kiblat dan bertakbirlah…” HR. Bukhari 757, Muslim 397Menujukkan tata cara yang disebutkan Nabi tersebut adalah hal-hal yang membuat shalat menjadi sah, diantaranya takbiratul ulama mengatakan, dinamakan dengan takbiratul ihram karena dengan melakukannya, seseorang diharamkan melakukan hal-hal yang sebelumnya halal, hingga shalat selesai. Sebagaimana hadits,مفتاح الصلاة الطهور وتحريمها التكبير وتحليلها التسليم“Pembuka shalat adalah bersuci wudhu, yang mengharamkan adalah takbir dan yang menghalalkan adalah salam” HR. Abu Daud 618, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi DaudSebagaimana kita ketahui, ketika dalam keadaan shalat, kita diharamkan berbicara, makan, minum dan lain-lain hingga shalat mengganti ucapan Allahu Akbar?Ukuran suara takbirBagaimana takbirnya orang bisu?Mengangkat Kedua TanganBentuk Jari-Jari Dan Telapak TanganUkuran TinggiTakbir Dulu Atau Angkat Tangan Dulu?Bolehkah mengganti ucapan Allahu Akbar?Mengganti ucapan takbiratul ihram, misalnya dengan الله أجلُّ /Allahu Ajall/ atau الله أعظمُ /Allahu A’zham/ atau lafadz-lafadz lain, hukumnya haram, walaupun masih berupa lafadz pujian dan pengagungan terhadap Allah. Karena lafadz takbir itu tauqifiyyah, ditetapkan oleh dalil. Menggantinya dengan lafadz lain adalah perbuatan bid’ para ulama berselisih pendapat jika lafadz takbir menggunakan ucapan الله الأكبرُ /Allahul Akbar/. Sebagian ulama, semisal Imam Abu Hanifah dan Imam Asy Syafi’i, menganggapnya sah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa alif lam dalam lafadz tersebut hanya tambahan tidak mengubah lafadz dan makna Shifatu Shalatin Nabi, 58. Demikian juga perihal mengganti lafadz Allahu Akbar dengan bahasa selain benar, semua itu menyelisihi sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tidak boleh mengganti lafadz takbir dengan selain الله أكبرُ. Karena hadits-hadits yang menyebutkan tentang lafadz takbir dalam shalat, disebutkan hanya lafadz الله أكبرُ. Misalnya haditsإنَّهُ لا تتمُّ صلاةٌ لأحدٍ منَ النَّاسِ حتَّى يتوضَّأَ فيضعَ الوضوءَ مواضعَهُ ثمَّ يقولُ اللَّهُ أَكبرُ“Tidak sempurna shalat seseorang sampai ia berwudhu, lalu ia membasuh air wudhu pada tempat-tempatnya, lalu ia berkata Allahu Akbar’” HR Abu Daud 857, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi DaudDan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabdaصلوا كما رأيتموني أصلي“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat” HR. Bukhari 631, 5615, 6008Adapun bagi orang non-arab yang kesulitan atau tidak bisa melafalkan takbir, sebagian ulama seperti Syafi’iyyah, Hanabilah, Abu Yusuf membolehkan pelafalan takbir dengan bahasa lain. Sebagian ulama seperti Malikiyyah dan Al Qadhi Abu Ya’la berpendapat bahwa gugur baginya kewajiban takbiratul suara takbirTakbiratul ihram itu wajib diucapkan dengan lisan, tidak boleh hanya diucapkan di dalam hati. Lalu para ulama berselisih pendapat apakah dipersyaratkan suara takbir minimal dapat didengar oleh diri sendiri atau tidak. Sebagian ulama seperti Hanabilah mempersyaratkan demikian, yaitu suara takbir dapat didengar oleh sebelahnya atau minimal dapat didengar oleh si pengucap sendiri Syarhul Mumthi’, 3/20. Namun yang rajih, hal ini tidak dipersyaratkan. Syaikh Al Utsaimin mengatakan “Yang benar, tidak dipersyaratkan seseorang dapat mendengar suara takbirnya. Karena terdengarnya takbir itu zaaid objek eksternal dari pengucapan. Maka bagi yang meng-klaim bahwa hal ini diwajibkan, wajib mendatangkan dalil” Syarhul Mumthi’, 3/20.Bagaimana takbirnya orang bisu?Orang bisu atau orang yang memiliki gangguan fisik sehingga tidak bisa berkata-kata, maka ia cukup bertakbir di dalam hati. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan “Karena perkataan Allahu Akbar itu mencakup ucapan lisan dan ucapan hati. Tidaklah lisan seseorang mengucapkan Allahu Akbar kecuali pasti hatinya mengucapkan dan memaksudkannya dalam hati. Sehingga jika seseorang terhalang untuk mengucapkannya, yang wajib baginya adalah cukup dengan mengucapkan dengan hatinya” Syarhul Mumthi’, 3/20Namun para ulama berbeda pendapat apakah orang tersebut harus menggerakan bibirnya sambil mengucapkan di dalam hati? Sebagian ulama seperti Syafi’iyyah tetap mewajibkan menggerakkan bibir, karena yang dinamakan al qaul dalam bahasa arab, itu disertai dengan gerakan bibir. Dan jika seseorang terhalang untuk bertakbir secara sempurna, maka wajib baginya bertakbir sesuai kemampuan yang ia miliki, termasuk menggerakkan bibir. Sebagian ulama seperti Malikiyyah, Hanabilah dan Hanafiyyah tidak mewajibkan, karena gerakan bibir bukanlah tujuan namun sarana atau wasilah untuk mengucapkan takbir. Sehingga ketika seseorang terhalang untuk melakukan pengucapan, maka gugur pula sarananya. Dan sekedar gerakan bibir itu tidak teranggap dalam syari’at Syarhul Mumthi’, 3/20, Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 19/92.Mengangkat Kedua TanganPara ulama bersepakat bahwa disyar’iatkan mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram. Dalilnya haditsأنَّ النبيَّ صلّى الله عليه وسلّم كان يرفعُ يديه حذوَ مَنكبيه؛ إذا افتتح الصَّلاةَ، وإذا كبَّرَ للرُّكوع، وإذا رفع رأسه من الرُّكوع“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepada setelah ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya” HR. Bukhari 735Namun mereka berselisih pendapat mengenai hukumnya. Sebagian ulama mengatakan hukumnya wajib, seperti Al Auza’i, Al Humaidi, Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim. Dalil mereka adalah karena hadits-hadits menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam selalu mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram. Sedangkan beliau bersabdaصلوا كما رأيتموني أصلي“Shalatlah sebagaimana kalian melihatku shalat”Namun pendapat ini tidak tepat, karena banyak tata cara shalat yang beliau selalu lakukan seperti duduk tawarruk, duduk iftirasy, berdoa istiftah, dll namun tidak wajib hukumnya. Bahkan ini semua tidak dinilai wajib oleh ulama yang mewajibkan mengangkat tangan ketika takbiratul ihram. Sehingga ada idthirad kegoncangan dalam pendapat ini. Yang benar, Ibnul Mundzir telah menukil ijma ulama bahwa mengangkat tangan ketika takbiratul ihram itu hukumnya sunnah Shifatu Shalatin Nabi, 63-67.Bentuk Jari-Jari Dan Telapak TanganJari-jari direnggangkan, tidak terlalu terbuka dan juga tidak dirapatkan. Berdasarkan hadits كان إذا قام إلى الصلاة قال هكذا – وأشار أبو عامر بيده ولم يفرج بين أصابعه ولم يضمها “Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam jika shalat beliau begini, Abu Amir perawi hadits mengisyaratkan dengan gerakan tangannya, beliau tidak membuka jari-jarinya dan tidak merapatkannya” HR. Ibnu Khuzaimah 459, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni KhuzaimahUntuk telapak tangan, sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim, At Thahawi, Abu Yusuf dan sebagian besar Hanabilah menganjurkan mengarahkan telapak tangan lurus ke arah kiblat ketika mengangkat kedua tangan, berdalil dengan hadits إذا استفتح أحدُكم الصلاةَ فليرفع يديْهِ ، وليستقبل بباطنِهما القِبلةَ“Jika salah seorang kalian memulai shalat hendaklah mengangkat kedua tangannya, lalu hadapkan kedua telapak tangannya ke arah kiblat” HR. Al Baihaqi dalan Sunan Al Kubra 2/27, dalam Silsilah Adh Dha’ifah 2338 Al Albani berkata “dhaif jiddan”Dan ada beberapa hadits yang semakna namun tidak ada yang shahih. Adapun hadits dari Wa’il bin Hujr radhiallahu’anhuلأنظرن الى صلاة رسول الله صلى الله عليه و سلم قال فلما افتتح الصلاة كبر ورفع يديه فرأيت إبهاميه قريبا من أذنيه“Sungguh aku menyaksikan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat, ketika beliau memulai shalat beliau bertakbir lalu mengangkat kedua tangannya sampai aku melihat kedua jempolnya dekat dengan kedua telinganya” HR. An Nasa-i 1101, dishahihkan Al Albani dalam Sunan An Nasa-ibukan merupakan dalil yang sharih akan perbuatan ini. Namun memang terdapat atsar shahih dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuانه كان اذا كبر استحب ان يستقبل بإبهامه القبلة“Ibnu Umar biasanya ketika bertakbir beliau menyukai menghadapkan kedua ibu jarinya ke arah kiblat” HR. Ibnu Sa’ad dalam Ath Thabaqat 4/157, dinukil dari Shifatu Shalatin Nabi, 63Sebagian ulama berdalil dengan keumuman keutamaan menghadap kiblat di luar dan di dalam ibadah. Diantaranya seperti ayatقَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ“Sungguh Kami sering melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya” QS. Al Baqarah 144Juga hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallamالبيتِ الحرامِ قبلتِكم أحياءً وأمواتًا“Masjidil Haram adalah kiblat kalian ketika hidup maupun ketika mati” HR. Abu Daud 2875Hadits ini diperselisihkan keshahihannya dan secara umum ini adalah pendalilan yang tidak sharih tegas. Oleh karena itu, yang rajih insya Allah, mengarahkan kedua telapak tangan ke kiblat ketika takbiratul ihram itu boleh dilakukan sebagaimana perbuatan Ibnu Umar radhiallahu’anhu namun tidak sampai disunnahkan Shifatu Shalatin Nabi, 63-66.Ukuran TinggiKedua tangan diangkat setinggi pundak atau setinggi ujung telinga. Berdasarkan haditsكان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلمَ إذا قام إلى الصلاةِ يرفعُ يديه حتى إذا كانتا حذوَ مِنكَبيه“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai setinggi pundaknya” HR. Ahmad 9/28, Ahmad Syakir mengatakan “sanad hadits ini shahih”Juga haditsكانَ رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم إذا افتتحَ الصلاةَ رفع َيدَيهِ حتى تكوناَ حَذْوَ أُذُنَيهِ“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika memulai shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai setinggi kedua telinganya” HR. Al Baihaqi 2/26Juga hadits dari Malik bin Huwairits radhiallahu’anhu أنه رأى نبي الله صلى الله عليه وسلم . وقال حتى يحاذي بهما فروع أذنيه “Ia melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam shalat, ia berkata tangannya diangkat sampai setinggi pangkal telinganya” HR. Muslim 391, Abu Daud 745Ini adalah khilaf tanawwu’ perbedaan variasi, maka seseorang boleh memilih salah satu dari cara yang ada. Bahkan yang lebih utama terkadang mengamalkan yang satu dan terkadang mengamalkan yang lain, sehingga masing-masing dari sunnah ini tetap lestari dan diamalkan ulama memperinci ukuran tersebut, yaitu bagian bawah telapak tangan setinggi pundak, atau bagian atas telapak tangan setinggi pangkal telinga. Namun yang tepat, dalam hal ini perkaranya luas, yang mengangkat kedua telapaknya tangan sampai sekitar pundak atau sampai sekitar telinga tanpa ada batasan tertentu itu sudah melakukan yang disunnahkan oleh Nabi lihat Syarhul Mumthi, 3/31. Adapun praktek sebagian orang yang meyakini bahwa kedua telapak tangan harus menyentuh daun telinga, ini tidak ada asalnya sama sekali Shifatu Shalatin Nabi, 63.Takbir Dulu Atau Angkat Tangan Dulu?Menurut Malikiyyah dan Syafi’iyyah, takbir berbarengan dengan mengangkat tangan. Sedangkan Hanafiyyah dan salah satu pendapat Syafi’iyyah, mengangkat tangan itu sebelum takbir. Sebagian ulama Hanafiyah juga berpendapat mengangkat tangan itu setelah takbir. Yang benar, perkara ini masih bisa ditolerir, artinya boleh mengangkat tangan dahulu sebelum takbir, boleh setelah takbir dan dibolehkan juga berbarengan dengan takbir. Karena semua ini pernah dipraktekkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam Ashlu Sifati Shalatin Nabi, 193-199.Dalil sebelum takbirHadits dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuكان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام إلى الصلاة؛ رفع يديه حتى تكونا حذو منكبيه ثم كبَّر“Pernah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai keduanya setinggi pundak, lalu bertakbir” HR. Muslim 390Hadits dari Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhuكان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا قام إلى الصلاة؛ يرفع يديه حتى يحاذي بهما منكبيه، ثميكبر“Pernah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau mengangkat kedua tangannya sampai keduanya setinggi pundak, lalu bertakbir” HR. Abu Daud 729 dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi DaudDalil bersamaan dengan takbirHadits dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhuرأيت النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افتتح التكبير في الصلاة، فرفع يديه حين يكبر حتى يجعلهماحذو منكبيه، وإذا كبَّر للركوع؛ فعل مثله“Aku melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memulai shalatnya dengan takbir. Lalu beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga keduanya setinggi pundak. Jika beliau hendak ruku, beliau juga melakukan demikian” HR. Bukhari 738Hadits Malik Ibnul Huwairits radhiallahu’anhuأن رسول الله كان إذا صلى ، يرفع يديه حين يكبر حيال أذنيه ، وإذا أراد أن يركع ، وإذا رفع رأسه من الركوع“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya jika shalat beliau mengangkat kedua tangannya ketika bertakbir hingga sampai setinggi kedua telinganya. Beliau lakukan itu juga ketika hendak ruku’ atau hendak mengangkat kepada dari ruku’” HR. An Nasa-i 879, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Nasa-iDalil setelah takbirHadits dari Abu Qilabah,أنه رأى مالك بن الحويرث ، إذا صلى كبر . ثم رفع يديه . وإذا أراد أن يركع رفع يديه . وإذا رفع رأسه من الركوع رفع يديه . وحدث ؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يفعل هكذا“Ia melihat Malik bin Al Huwairits radhiallahu’anhu jika shalat ia bertakbir, lalu mengangkat kedua tangannya. Jika ia ingin ruku, ia juga mengangkat kedua tangannya. Jika ia mengangkat kepala dari ruku, juga mengangkat kedua tangannya. Dan ia pernah mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam juga melakukan seperti itu” HR. Muslim 391Semoga yang sedikit ini Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Abdul Aziz bin Marzuq Ath Tharifi, cetakan Maktabah Darul MinhajAsy Syarh Al Mumthi’ Ala Zaadil Mustaqni, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, Asy SyamilahAl Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyyah, Kementrian Agama Kuwait, Asy SyamilahAshlu Shifati Shalatin Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Asy Syamilah—Penulis Yulian PurnamaArtikel Jakarta - Sujud tilawah berakar dari dua kata dasar bahasa Arab di mana sujud berarti tunduk dan merendahkan diri, sementara tilawah artinya membaca Al Quran. Hal ini berarti menurut buku Serba-Serbi Sujud Tilawah oleh Maharati Marfuah, Lc, sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan karena membaca ayat Al lebih lengkapnya, sujud tilawah adalah sujud yang dikerjakan karena membaca atau mendengar bacaan ayat-ayat sajdah di dalam sholat maupun di luar sholat. Sujud tilawah disebut juga dengan sujud dari buku Step by Step Sukses Membaca Al-Qur'an dengan Tartil yang ditulis oleh Siti Pramitha Retno Wardhani. ayat sajdah itu merupakan ayat-ayat tertentu dalam Al Quran yang bila dibaca, maka disunnahkan bagi yang membaca dan mendengarkan untuk melakukan sujud tilawah. Ayat sajdah ini terdapat di beberapa surah dalam Al Quran di antaranya adalah pada salah satu ayat dalam surat Al A'raf, Ar Ra'd, An Nahl, Al Isra', Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah, Fussilat, An Najm, Al Insyiqaq, Al 'Alaq, serta surat Al Hajj yang memiliki dua ayat bagaimana bunyi bacaan dan tata cara melakukan sujud tilawah?Bacaan Sujud Tilawahسَجَدَ وَجْهِى لِلَّذِى خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ تَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَBacaan latin "Sajada wajhi lilladzi kholaqohu, wa showwarohu, wa syaqqo sam'ahu, wa bashorohu bi khaulihi wa kuuwatihi fatabarakallahu ahsanul kholiqiin."Artinya "Wajahku bersujud kepada Dzat yang menciptakannya, yang membentuknya, dan yang memberi pendengaran dan penglihatan, Maha berkah Allah sebaik-baiknya pencipta," HR. Ahmad, Abu Dawud, Hakim, Tirmidzi, dan Nsa'iTata Cara Sujud TilawahBerikut ini tata cara sujud tilawah yang bisa dilakukan1. Di dalam SholatJika saat kita sholat dan membaca ayat sajdah, maka kita hendaknya langsung sujud tanpa melakukan rukuk dan i'tidal lebih dulu. Setelah membaca doa atau bacaan sujud tilawah selesai, sebaiknya kembali ke posisi berdiri seperti semula dan melanjutkan dalam sholat berjamaah makmum mendengar bacaan ayat sajdah dibacakan, maka makmum tidak boleh melakukan sujud tilawah jika imam tidak melakukannya. Sebaliknya, jika imam melakukannya, maka makmum harus ikut melakukannya Di Luar SholatSegeralah bertakbir lalu sujud sebanyak satu kali, kemudian bertakbir lagi untuk bangun dari sujud. Bisa juga langsung sujud sebagaimana sujud dalam sholat tanpa didahului dengan rukun-rukun sujud tilawah yang dilakukan di luar sholat seperti dikutip dari buku Panduan Salat Wajib dan Sunah karya Ustadz Muhammad Syafril adalah sebagai berikutRukun Sujud Tilawah1. Takbiratul ihram;2. Sujud; dan3. Salam setelah "Katakanlah "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman sama saja bagi Allah. Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud, dan mereka berkata "Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'." QS. Al Isra 107-109.Dalam suatu riwayat hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabdaإِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِى يَقُولُ يَا وَيْلَهُ - وَفِى رِوَايَةِ أَبِى كُرَيْبٍ يَا وَيْلِى - أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِىَ النَّارُArtinya "Jika anak Adam membaca ayat sajdah lantas sujud, maka menyingkirlah setan sambil menangis dan berkata, "Celakalah diriku, ia Anak Adam diperintahkan sujud dan ia patuh lalu sujud, maka baginyalah surga. Sedang aku sendiri diperintahkan untuk bersujud namun aku menolak, maka untukku neraka." HR. Muslim, dan Ibnu Majah dalam Nashbur Roayah Volume 2 halaman 178.Riwayat lainnya yang menegaskan bahwa sujud tilawah hukumnya sunnah adalah saat hari Jumat, Umar bin Khattab pernah membacakan surah An Nahl hingga ayat sajdah, beliau turun untuk sujud dan diikuti oleh yang datang Jumat berikutnya, beliau pun membaca surat yang sama hingga pada ayat sajdah, beliau berkataيَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا نَمُرُّ بِالسُّجُودِ فَمَنْ سَجَدَ فَقَدْ أَصَابَ ، وَمَنْ لَمْ يَسْجُدْ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِArtinya "Wahai sekalian manusia. Kita telah melewati ayat sajadah. Barangsiapa bersujud, maka dia mendapatkan pahala. Barangsiapa yang tidak bersujud, dia tidak berdosa." Kemudian 'Umar pun tidak bersujud." HR. Bukhari no. 1077.Itulah penjelasan lengkap mengenai sujud tilawah. Artinya alangkah lebih baiknya, saat mendengar ayat sajdah kita bisa melaksanakan sujud tilawah. nwy/nwy Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan ketika membaca atau mendengar ayat-ayat tertentu dari kitab suci Al-Qur’an. Ayat-ayat tersebut disebut dengan ayat sajdah. Di dalam mushaf Al-Qur’an ayat-ayat sajdah ini biasanya bisa diketahui dengan adanya tanda tertentu seperti tulisan kata as-sajdah dengan tulisan Arab di pinggir halaman sebaris dengan ayatnya, atau adanya gambar seperti kubah kecil di akhir ayat. Ketika ayat sajdah dibaca orang yang membaca atau yang mendengarnya disunahkan untuk bersujud satu kali baik dalam keadaan shalat maupun di luar sujud tilawah ketika membaca atau mendengar ayat sajdah didasarkan pada beberapa hadits di antaranyaHadits riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallâhu alaihi wasallam bersabdaإِذَا قَرَأَ ابْنُ آدَمَ السَّجْدَةَ فَسَجَدَ , اعْتَزَلَ الشَّيْطَانُ يَبْكِي , يَقُولُ يَا وَيْلَهُ أُمِرَ ابْنُ آدَمَ بِالسُّجُودِ فَسَجَدَ فَلَهُ الْجَنَّةُ، وَأُمِرْتُ بِالسُّجُودِ فَأَبَيْتُ فَلِيَ النَّارُArtinya “Ketika anak adam membaca ayat As-Sajdah kemudian ia bersujud maka setan menyendiri dan menangis. Ia berkata, “celaka, anak adam diperintah untuk bersujud dan ia pun bersujud maka baginya surga. Dan aku telah diperintah untuk bersujud namun aku menolak maka bagiku neraka.”Hadis riwayat Imam Abu Dawud dari Ibnu Umarكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ عَلَيْنَا الْقُرْآنَ، فَإِذَا مَرَّ بِالسَّجْدَةِ كَبَّرَ، وَسَجَدَ وَسَجَدْنَا مَعَهُArtinya “Adalah nabi membacakan Al-Qur’an kepada kita, maka ketika melewati ayat As-Sajdah beliau bertakbir dan bersujud, dan kami pun bersujud bersamanya.”Tata Cara Sujud TilawahDi luar shalat ketika seseorang membaca atau mendengar ayat sajdah dan ia berkehendak untuk melakukan sujud tilawah maka yang mesti ia lakukan adalah memastikan dirinya tidak berhadats dan tidak bernajis dengan cara berwudlu dan mensucikan najis yang ada. Setelah itu menghadapkan diri ke arah kiblat untuk kemudian bertakbiratul ihram dengan mengangkat kedua tangan. Setelah berhenti sejenak lalu bertakbir lagi untuk turun bersujud tanpa mengangkat kedua tangan. Setelah sujud satu kali lalu bangun untuk kemudian duduk sejenak tanpa membaca tahiyat dan mengakhirinya dengan membaca salam.Baca juga Ini Perbedaan Hadats dan NajisApakah harus berdiri sebelum melakukan sujud tilawah? Para ulama Syafi’iyah berbeda pendapat dalam hal ini. Syekh Abu Muhammad, Qadli Husain dan lainnya lebih menyukai sujud tilawah dilakukan dengan cara dimulai dari berdiri dan berniat lebih dahulu. Namun pendapat ini diingkari oleh Imam Haramain dengan mengatakan, “Saya tidak melihat untuk masalah ini adanya penuturan dan dasar.” Apa yang menjadi pendapat Imam Haromain ini dipandang oleh Imam Nawawi sebagai pendapat yang lebih benar dan karenanya yang dipilih adalah tidak berdiri untuk sujud tilawah lihat Yahya bin Syaraf Al-Nawawi, Raudlatut Thâlibîn wa Umdatul Muftîn, Beirut Al-Maktab Al-Islamy, 1991, jil. I, hal. 321 – 322.Sedangkan melakukan sujud tilawah dalam keadaan sedang shalat dengan cara setelah dibacanya ayat sajdah maka bertakbir tanpa mengangkat tangan untuk kemudian turun bersujud satu kali. Setelah itu bangun dari sujud untuk berdiri lagi dan melanjutkan shalatnya. Bila ayat sajdah yang tadi dibaca berada di tengah surat maka ia kembali melanjutkan bacaan suratnya hingga selesai dan ruku’. Namun bila ayat sajdah yang tadi dibaca berada di akhir surat maka setelah bangun dari sujud tilawah ia sejenak berdiri atau lebih disukai membaca sedikit ayat lalu diteruskan dengan ruku’ dan diketahui, Dr. Musthafa Al-Khin dalam kitabnya al-Fiqhul Manhaji memberikan peringatan bahwa takbiratul ihram dan membaca salam merupakan syarat sujud tilawah. Syarat yang lainnya adalah sebagaimana syarat shalat pada umumnya seperti menghadap kiblat, suci dari hadas dan najis, dan sebagainya lihat Musthafa Al-Khin, al-Fiqhul Manhaji [Damaskus Darul Qalam, 2013], jil. I, hal. 175 – 176.Adapun bacaan yang sunah dibaca ketika sujud tilawah sebagaimana disebutkan Imam Nawawi dalam kitab Raudlatut Thâlibîn adalahسَجَدَ وَجْهِي لِلَّذِي خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ، وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ، بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ“Sajada wajhiya lil ladzî khalaqahû wa shawwarahû wa syaqqa sam’ahû wa basharahû bi haulihî wa quwwatihî.”Juga disunahkan membaca do’aاللَّهُمَّ اكْتُبْ لِي بِهَا عِنْدَكَ أَجْرًا، وَاجْعَلْهَا لِي عِنْدَكَ ذُخْرًا، وَضَعْ عَنِّي بِهَا وِزْرًا، وَاقْبَلْهَا مِنِّي، كَمَا قَبِلْتَهَا مِنْ عَبْدِكَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ “Allâhummaktub lî bihâ indaka ajraa, waj’alhâ lî indaka dzukhran, wa dla’ annî bihâ wizran, waqbalhâ minnî kamâ qabiltahâ min abdika dâwuda alaihissalâm.”Namun demikian—masih menurut Imam Nawawi—bila yang dibaca adalah do’a yang biasa dibaca saat sujud di waktu shalat maka diperbolehkan. Wallahu a’lam. Yazid Muttaqin

takbiratul ihram dalam sujud tilawah termasuk